Tahun 1946 terjadi perang etnis di Dairi, antara orang Toba dan kalak Karo atau 'kalak Teba ras kalak Karo' istilah orang Karo Dairi. Banyak juga korbannya dikedua belah pihak. Tidak ada yang berani menulis peristiwa ini, dianggap tabu dan karena itu juga hampir tidak ada pelajaran dari situ, mengapa terjadi, sebab utamanya dsb. Kalau saya ditanya, jawaban saya ialah perang etnis adalah perang etnis, sebab luar bisa banyak tetapi itu tetap faktor extern, faktor luar bisa berpengaruh kalau sudah ada faktor intern, artinya faktor-faktor yang tersembunyi pada tiap etnis bersangkutan. Penduduk asli di Dairi ialah orang Karo dan orang Pakpak, dan Pakpak merasa tidak berkepentingan ikut perang, berlainan dengan kalak Alas yang kemudian terlibat ikut dibeberapa tempat yang berhubungan langsung dengan kepentingan kalak Alas. Setelah perang itu maka di Dairi berduyun kalak Teba ngasak, seperti semut cari gula. Dengan demikian sudah cukup alasan untuk memasukkan Dairi ke Taput ketika itu. Dairi jadi Taput dan semakin leluasa penuh kebebasan kalak Teba berduyun ke Dairi. Sekarang mereka jadi mayoritas di Dairi, masih ada 'positif' kecilnya ialah kalak Teba atau orang Batak masih mengakui Dairi tanah ulayat kalak Pakpak, Karo tidak diikutkan dalam pandangan mereka, walaupun kenyataannya di Dairi penduduk semula adalah Karo dan Pakpak. 'Positif' besarnya ialah Dairi didominasi oleh kalak Teba dan yang lebih positif lagi ialah suasana kondusif sampai sekarang masih berlaku. Situasi kondusif ini masih berlaku apakah karena kita sungkan membicarakan permusuhan alias kontradiksi antar-etnis, atau karena memang kita sudah pandai dan hebat semua, hebat menyembunyikan 'apa adanya' alias fakta dan kenyataan,ethnicgroups self-assertion and ethnicgroups struggling for power. . Bisa juga hebat menyembunyikan api dalam sekam. Dan ini biar bagaimanapun adalah api! Sepandai-pandai tupai melompat . . . Dominasi adalah penjajahan dan sumber ketidakadilan, contohnya seperti yang dikatakan oleh antoropolog Denis Dwyer: "development programmes frequently are controlled and administered at the higher levels by members of the politically dominant ethnic group; and most of the fruits of such development flow into the pockets of a tiny ethnic elite or at best, are distributed in a limited manner within the same ethnic group". Ini salah satu keuntungan politis/ekonomi bagi etnis-etnis yang memperjuangkan dominasi atau hegemoni.
Kalak Teba diluar Dairi ngakunya Batak (Tobanya tidak diikutkan), begitu juga ada Karo yang ngaku Batak-Karo tapi Karonya diikutkan. Belanda bilang kalian Batak semua, seperti orang Pribumi katanya kepada semua orang coklat lainnya di seluruh tanah air, yang lebih hitam, Ambon katanya dan yang lebih hitam lagi, Papua katanya. Disini: keangkuhan + kebodohan Belanda. Dan dalam istilah Batak atau Batak-Karo sebagai pengganti Teba dan Karo, sudah termasuk kedalam pengertian intellektual yang lebih tinggi, disini tidak bisa dipisahkan dari 'perang image' (Juara Ginting) atau apa yang sering saya sebut dengan 'ethnicgroups self-assertion and etnicgroups struggling for power'. Disini berlaku sasaran dan motivasi yang sangat jelas: siapa menguntungkan siapa dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sama halnya dengan Aceh Gayo atau Aceh Alas atau Aceh apa saja. Antropolog Batak Amir Nadapdap malah bilang Batak Gayo dan Batak Alas, istilah 'aceh' diganti 'batak' sama dia. Sasaran dan motivasi intellektualnya jelas walupun lebih tinggi.
Ketika ditanyakan pendapatanya soal pemekaran, gubernur Puteh mengatakan: "Saya sependapat dengan DPRD, tidak mungkin karena itu bertentangan dengan UU Nomor 18 Tahun 2001," ujar Gubernur Abdullah Puteh. Gubernur juga menyatakan tidak ingin daerah yang disebut sebagai "Serambi Mekkah" ini dipecah-pecah dengan membentuk provinsi. Karena daerah ini merupakan warisan indatu dan nenek moyang masyarakat Aceh yang sangat kental dengan Islamnya(web TVRI). Gubernur Puteh tidak menjelaskan dimana warisan masyarakat Gayo, Alas dan etnis-etnis asli lainnya. (milis tanahkaro Fri Oct 8, 2004 12:20 pm).
Banyak orang Karo maupun orang Teba tidak pernah mengerti existensi perang etnis 1946 antara kalak Karo dan kalak Teba, karena tidak pernah mendengar. Selalu disembunyikan seperti menyembunyikan SARA kreasi Orba Suharto. Pelajaran dari SARA Suharto ialah: ada yang disembunyikan atau dipaksa sembunyi dan ada yang secara sembunyi dijalankan. Etnis-etnis yang jauh dari kekuasaan harus bungkem, tapi jawanisasi jalan terus. SARA disini saya samakan dengan istilah sukuisme, istilah yang juga punya pengertian lain dalam perkembangan sekarang karena dulu sebelum Orba dan masa Orba sukuisme sangat negatif dan dipakai untuk menakut-nakuti etnis yang menunjukkan ke-etnisannya, yang tidak menunjukkan dianggap 'baik' walupun kemudian bakal jadi sebab utama kekalahan total etnis tersebut, seperti Karo , Alas, Gayo, Pakpak, Dayak dst. Jawanisasi saya maksudkan sama dengan feodalisme jawa, sistem mana telah dipaksakan berlaku diseluruh Indonesia ketika kekuasaan militer fasis-pancasilais Orba Suharto dan yang telah berakibat sangat merugikan adat/tradisi kehidupan otonomi dan demokratis banyak daerah seperti Sistem Nagari di Minang atau sistem demokrasi Runggu Rakut Sitelu pada etnis Karo, sistem mana telah exis dan berlaku mengatur kehidupan Minang dan Karo bahkan jauh sebelum feodalisme Jawa.
Ethnic revival atau Cultural revival dunia adalah revolusi besar kebudayaan etnis-etnis dunia membembaskan dirinya dari penindasan kultur/budaya dan juga secara politis dan ekonomi. Ini terjadi secara besar-besaran di Uni Soviet, Yugoslavia, Irlandia Utara, Rwanda, Chapata/Mexiko, Srilangka dst, dan di Indonesia sendiri Kalbar, Kalteng, Maluku, Sulteng/Poso dll.
Di Swedia berdiri Parlemen Sami + benderanya, diluar parlemen Swedia.
Di Aceh pemekaran ALA/ABAS, di Sumut pemekaran Protap, Sumtim, propinsi Karo, Tabagsel, Nias. Setelah perang etnis di Indonesia kemudian dibagian lain dilaksanakan dengan pemekaran dan yang sudah terlaksana lebih dulu ialah Gorontalo, Babel, Banten, dll.
Globalisasi telah mendesak kemanusiaan kepelosok yang paling terpencil sekalipun, dan satu-satunya tempat bertahan bagi kemanuisaan ialah dalam grup 'bersama' yang paling kecil yaitu etnisnya atau sukunya, yang kulturnya sama. "the focus is almost exclusively at ethnics and not nations" , kata Erik Lane dalam bukunya - Globalization and Politics: Promises and Dangers. Selanjutnya dia tulis: "Thus, people are so intimately connected with a culture that they are, so to speak, constituted by the culture in question or embedded in such a particular culture."
HUT kota Medan tahun ini sangat memprihatinkan (posting Alexander). Sebabnya karena pemimpin kota Medan sedang dikurung, sebab ekonomi yang semakin mencekik, atau juga adanya 'perang image' tadi. Dan perang image ini bisa berhenti kalau kita semua sudah merasakan keuntungan dari kemegahan sejarah bersama kita. Dan ini memang perjuangan . . . perjuangan untuk keadilan bagi dan untuk seluruh nation Indonesia.
Enda ka lebe
Bujur ras mejuah-juah
إرسال تعليق