Museum Karo Lingga dan Desa Budaya Lingga

Museum Karo Lingga: menyimpan benda-benda dari kebudayaan Karo
Museum Karo Lingga: menyimpan benda-benda dari kebudayaan Karo

Museum Karo Lingga dan Kuta Budaya Lingga, adalah dua tujuan wisata yang ada di
Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Indonesia.
Perjalanan saya kali ini(Sabtu, 2 Maret 2013) tidak seperti biasa yang walau dadakan namun secara keseluruhan berjalan mulus. Kali ini tidak begitu mulus dan sidikit mengecewakan. Pasalnya, walau sudah ada rencana, manun sedikit perubahan lokasi tujuan dari semula ingin mengunjungi lokasi konservasi orang utan di Bahorok, Bukit Lawang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara namun karena ada beberapa hal diluar dugaan, maka tujuan-pun dirubah ke tiga Museum yang menyimpan koleksi benda budaya Karo, yakni: Museum GBKP di kompleks RC. GBKP, Sukamakmur, Museum Pusaka Karo yang terletak di kota wisata Berastagi, dan  Museum Karo Lingga di Desa Lingga.

Perjalanan dari rumah(Patumbak, Deli Serdang) sekitar pukul 09.00 wib, cuma kali ini kami menelusuri jalur Patumbak � Delitua - Titi Kuning � Padang Bulan(Medan) � Pacur Batu � ke Kabupaten Karo, tidak seperti biasa yang mengambil jalur Patumbak � Delitua � Namorambe - Namom Mbacang/Bintang - Pancur Batu, sehingga tentulah kemacetan dan persimpangan lampu merah harus dihadapi.  Jalur ini diambil karena kami(saya dan adik saya) sekalian mengantarkan Nande(ibu) Ginting kami ke Jambur Pemere Padang Bulan, Medan untuk melayat acara adat kematian Bapak Depari. Sebelumnya saya mengucapkan turut berduka dan semoga keluarga Depari diberi ketabahan.

Memasuki Jalan Jendral A. H. Nasution hingga Simpang Pos kemacetan parah terjadi, hampir  2 jam lebih kami terjebak macet, baru memasuki Jl. Letjend. Djamin Ginting lalu-lintas kembali lancar hingga Jambur Pemere dimana kami menurunkan Nande beru Ginting. Sepanjang Jl. Djamin Ginting Padang Bulan, Medan kendaraan sangat padat, mengingat hari Sabtu walau demi kian tidak ada kemacetan berarti selain oleh karena sebuah angkot(angkutan kota) kuning yang mogok tepat ditengah badan jalan, namun segera ditanggulangi sang pengemudi dan beberapa orang yang kebetulan melintas, sehingga jalan kembali lancar. Baru di sekitar Tiga(pasar tradisional) Pancur Batau kemacetan kembali terjadi hingga melewati Puskesmas Pancur Batu. Berhubung hari Sabtu, maka kendaraan yang menuju gugung(dataran tinggi/pegunungan) cukup padat, setidaknya dari Bandar Baru samapi Peceren jalanan baru tampak lengang dan sepi, dan memasuki Kota Wisata Berastagi(sekitar 66 km dari Medan) kembali padat dengan kendaraan. Seperti biasa jika melakukan perjalanan ke dataran tinggi Karo, sebelum memasuki Kota Berastagi, pemberhentian pertama kami adalah SPBU Sukamakmur yang letaknya tepat di samping kompleks RC. GBKP Sukamakmur, dilanjut pemberhentian kedua yakni Peceren dimana disepanjang kedua belah sisi jalan terdapat toko-toko yang menjual panganan khas Peceren dan yang paling populer adalah Wajit Peceren dan beberapa aneka panganan lainnya.

Sampai di Kota Berastagi, kami langsung menuju Museum Pusaka Karo di Jalan Perwira No. 3, Berastagi yang tidak jauh dari bundaran Tuju Mejuah-juah(Perjuangan) Berastagi, namun di pintu museum tersebut tertulis �TUTUP� dan ada larangan parkir didepannya, maka tidak mau larut dalam kekecewaan kami pun melanjutkan perjalanan ke sekitar objek wisata Gundaling yang masih di kawasan kota wisata Berastagi. Dari Gundaling, kami melanjutkan perjalanan ke Museum Karo Lingga di Lingga. Jujur, saya tidak tahu pasti letaknya, maka sambil berbelanja perbekalan saya mencoba bertanya-tanya kepada kasir swalayan dan masyarakat sekitar tentang informasi lokasi Museum Karo Lingga ini. Setelah mendapat informasi maka kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Lingga. Melalui Jl. Udara Berastagi hingga simpang empat kami berhenti sejenak bertanya lagi memastikan arah kami sudah tepat dan melanjut perjalanan mengikuti jalan menuju Desa Lingga dan Kabanjahe. Tidak jauh dari tempat kami bertanya, ada pertigaan dengan papan penunjuk arah dan plank bertulisakan Museum Karo Lingga dan sebuah komplex pemakaman dan geriten tepat di pertigaan itu, maka kamipun masuk ke kanan pertigaan itu menuju Desa Lingga, dan sekitar +/- 300 meter dari pertigaan akhirnya kami menemukan tujuan kami, yakni Museum Karo Lingga, tepat didepan sebuah Gereja Khatolik yang bangunannya juga bernuansakan Karo.

Museum Karo Lingga adalah museum yang menyimpan benda-benda dari kebudayaan Karo, yang letaknya di Desa Lingga(jalan menuju desa budaya Lingga), tepat didepan Gereja Khatolik Santo Petrus. Bangunan museum ini sendiri merupakan model rumah panggung yang terbuat dari kayu, dengan bernuansa Karo yang paling jelas tampak pada bagian atapnya dan ayo-ayo(muka) dari rumah yang ada bertuliskan salam khas masyarakat Karo: �Mejuah-juah.�

Saat masuk ke kompleks museum yang dimana halamanya ditumbuhi oleh rerumputan hijau, tanpa menunggu untuk disapa saya langsung turun dari mobil dan menyapa seorang peria paruh baya dengan sapaan khas Karo. Berikut percakapan antara kami di halaman depan museum.

Museum Karo LinggaSaya:  �Mejuah-juah, Pak!� sambil menjulurkan tangan saya.
Si Bapak: �Mejuah-juah� balasnya denga senyuman sambil menjabat tangan saya.
Saya: �Me enda nge ningin Museum Karo Lingga e, Pak?�
Si Bapak: �Ue, ku bas-ken, lit nge bas bibindu.� Jawabnya dengan penuh keramahan, sambungnya: �Egia, ja nari kin kena?
Saya: �Kami Patumbak nari, Pa?
Si Bapak: �Adi bage kubasken kena yah.� Katanya mempersilahkan kami untuk masuk.

Museum Karo Lingga
Bagian tengah museum
Untuk memasuki museum ini (tidak dipungut berapa beaya resmi, namun sukarela) kita harus menaiki anak tangga dari bambu bulat, dan ture-ture(teras)-nya juga masih terbuat dari bambu, dan menjaga kebersihan museum alas kaki harus dibuka. Namun tidak usah khawatir, karena lantai museum ini bersih kok dan cukup nyaman untuk menginjakkan kaki didalamnya, karena lantainya juga terbuat dari kayu.

Koeksi "gundala-gundala" di Museum Karo Lingga
Koeksi "gundala-gundala" di Museum Karo Lingga
Memang, koleksi dari museum ini masih jauh dari lengkap, akan tetapi, setidaknya kita sudah mendapat sedikit gambaran tentang kehidupan masyarakat Karo, khususnya dimasa lampau. Memasuki museum di bilik ruangan sebelah kanan kita akan menemui benda-benda kesenian dan kerajinan Karo, dari alat musik dan alat pertanian, serta alat dapur yang dipajang di lemari kaca, dan diatas meja yang terbuka dipajang patung dan tiga buah gundala-gundala (topeng Karo), dan sebuah replika manuk sigurda-gurdi(penggambaran jelmaan/siluman rajawali), serta beberapa photo yang dipajang di dinding(untuk menjaga keamanan benda dan kenyamanan pengunjung maka di setiap benda yang dipajang terbuka deiberi tulisan "Jangan Disentuh!") . Di bilik kiri didominasi dengan peralatan sehari-hari dari masyarakat Karo, mulai dari alat dapur, alat makan, alat mengambil/menampung air, dan pernak-pernik lainnya. Ada juga tongkat dan dalam lemari etalase kaca dipajang patung model yang memakai pakaian adat Karo(pria-wanita) dan uis(kain) tradisional Karo, serta photo-photo yang dipajang di dinding.         
Peralatan sehari-hari masyarakat Karo
Peralatan sehari-hari masyarakat Karo
 Yang menarik perhatian saya adalah dibagian tengah ruangan ada beberapa peralatan sehari-hari masyarakat Karo tradisional, dan yang paling menarik perhatian saya adalah �campah�, yakni: tempat makan orang Karo zaman dahulu yang terbuat dari kayu yang lebarnya sekitar 65 x 65 cm, dengan ketebalan sekitar 15 - 20 cm. Dan, beberapa benada yang mengingatkan saya kepada almarhum Nini Bulang(kakek) saya, seperti gelang-gelang(wadah memasak dari bahan kuningan), tumbak(tombak), guci, mangkuk, pinggan pasu, dll yang dulu sempat juga saya koleksi namun karena berpindah-pindah sebahagian entah kemana. Puas berbincang-bincang dengan bibipenjaga museum dan mengambil beberapa jepretan photo dari kamera digital, kami memutuskan melanjutkan perjalanan ke Kuta(Kampung) Budaya Lingga yang tidak jauh dari museum.

Beranjak dari Museum Karo Lingga menuju Desa Budaya Lingga, optimis saya akan memetik makna yang berarti dan melihat objek-objek yang menarik, ya.. ada betulnya, karena disepanjang jalan menuju desa budaya Lingga banyak kita jumpai kuburan dan geriten(penyimpanan tulang) yang dibangun megah dengan gaya arsitektur khas Karo serta perladangan masyarakat setempat. Bagus sekali, namun tak sepenuhnya benar! Memasuki kompleks desa budaya Lingga, kita disambut gapura seperti sebuah gerbang yang berdiri megah dan kokoh dengan gaya arsitektur Karo. Melintasi gerbang, kita seakan melintasi ruang dan waktu dari modern ke klasik, setidaknya itu apresiasi dari saya. Namun jika sudah masuk maka sedikit rasa kecewa menerpa, karena apa yang diberitakan tidak lagi sesuai dengan kenyataan sesungguhnya, atau dengan kata lain, yang diberitakan itu adalah cerita sejarah(masa lampau). Tidak jauh dari gerbang masuk, kita akan disambut sebuah bangunan yang cukup megah, yakni Jambur(balai) Lingga. Kami memutuskan untuk memarkirkan mobil tepat di depat jambur.

Sebuah Jambur  ber-cat putih yang berdiri kokoh dan megah dengan tiang-tiang kayu bulat menambah keunikannya. Di langit-langit jambur juga terdapat dua buah papan yang lumayan lebar(sekitar 1, 5 x 3 meter) yang bertuliskan nama-nama dengan bermerga Karo. Tidak menunggu untuk disapa, saya langsung menyapa orang-orang yang ada di jambur yang asyik menonton permainan tenis meja. Seperti biasa, diawali salam �Mejuah-juah� berkenalan dan basa-basi. Tidak mau sia-sia datang ke desa Lingga saya banyak bertanya tentang desa tersebut kepada seorang masyarakat setempat yang kebetulan ber-merga Karo-karo Sinulingga. Merga Karo-karo Sinulingga adalah kelompok merga yang memanteki(mendirikan) desa Lingga dan keturunannya juga dimasa aristokrak berbiak merupakan kaum Sibayak(raja, penguasa, si kaya, yang dimuliakan, bangsawan) di Lingga dengan gelar Sibayak Lingga. Salah satu pertanyaan saya yakni tentang nama-nama yang tertera di langit-langit jambur, dan beliau(Sinulingga) menjelaskan kalau nama-nama itu merupakan para tokoh pendiri jambur. Dia juga bercerita kalau jambur di desa itu dulunya memiliki halaman yang luas dan ditumbuhi rumput hijau dan tempat parkirnya juga luas, namun seiring bertambahnya populasi penduduk, maka bangunan bertambah dan semakin merapat ke jambur hingga kini hanya meyisakan bangunan utama jambur dan jalan yang ngitari jambur dari tiga sisi jambur.

Pak Sinulingga juga bercerita, dahulu bangunan rumah di Lingga bergaya arsitektur tradisional Karo(rumah panggung) dan banyak sekali didapati rumah-rumah adat(Si Waluh Jabu). Namun, beberapa tahun belakangan rumah-rumah itu runtuh dimakan usia dan diganti dengan bangunan yang lebih modern, sehingga kini hanya menyisakan dua rumah adat lagi yang juga terancam runtuh. Jadi ancaman kepunahan rumah adat Karo di Lingga sudah dalam ambang sangat kritis dan butuh segera diperhatikan. Lihat video Ekspedisi Cincin Api.

Lama berbincang-bincang dengan Pak Sinulingga saya banyak mendapat informasi kehidupan masa lampau dari desa Lingga yang membuat saya merinding sekaligus sedih. Desa Lingga yang tersohor dalam sejarah Sibayak Lingga dan pemberitaan dengan nama desa budaya dengan rumah adat yang berusia ratusan tahun, saya rasa sudah pantas menyandang istilah kini �hanya kenangan�. Apakah kita membiarkannya saja? Melihat apa yang terjadi di Desa Lingga mengingatkan saya dengan perjalanan Kerja Tahun(pesta tahunan masyarakat Karo) saya sekitar tahun 1997 di Desa Buah Raya dan Kuta Buluh Simole. Dimana, saya kecapekan bolak-balik menaiki anak tangga dari ruma adat Si Waluh Jabu yang  satu ke rumah adat lainnya, dan, sejak saat itu tidak pernah lagi mengunjungi dua tempat tersebut. Apakan disana juga rumah adat ini telah punah? Hm.. Menyedihkan sekali mendengar cerita dari Pak. Sinulingga dan melihat dengan kedua mata ini bahwa desa-desa tradisional Karo kini hanya kenangan seperti halnya Kerajaan Aru(Haru: Karo Kuno). 

Puas melihat sekeliling Desa Lingga, namun sengaja saya tidak mengambil satu gambar-pun, karena jujur untuk saat sekarang ini selain daripada sejarahnya, udaranya yang sejuk, serta masyarakatnya yang ramah dan bersahabat tidak adalagi sisa-sisa kebesaran Lingga yang diceritakan, dan, kami pun berpamitan pulang kepada beberapa orang tua dan masyarakat Lingga yang sangat ramah dan royal senyum. Sebuah pengalaman yang mengharukan tetapi kami harus kembali dan meninggalkan udara sejuk di Desa Budaya Lingga yang melegenda ini. Namun, saat perjalanan pulang, saya tidak henti-hentinya memikirkan rumah adat yang terancam punah itu dan hati kecil ini terus bertanya: apankah kejayaan Lingga akan kembali? Dimana dulunya Lingga tersohor bukan hanya alam yang indah dan kemajuan dalam bidang ekonomi, tetapi dengan rumah adatnya, dan tokoh-tokohnya terkhusus dari kaum Sibayak(Sibayak Lingga) yang melegenda dan disegani oleh negeri-negeri sekitarnya. Selain itu, dari tradisi yang beredar meyakini bahwa nenek moyang bangsa Batak atau sering disebut Si Raja Batak juga diyakini berasal dari Lingga dan masih keturunan dari Sibayak Lingga. Mungkin saat-saat kejayaan itu kembali hanya dalam mimpi saja.


Jam menunjukkan Pukul 15.45 wib saat kami keluar dari Desa Lingga. Tidak sempat untuk singgah di Museum GBKP yang terletak di Kompleks RC. GBKP Sukamakmur, karena semua fasilitas di RC dijadwal tutup pukul 16.00 wib. Tapi tidak apa lah, sebab museum yang satu ini sudah sering saya kunjungi dan selalu akan ada kesempatan untuk mengunjunginya, setidaknya saat menemani adik saya berenang di kolam rengan kompleks RC tersebut.

Juga menjadi kebiasaan saat kami kalau pulang dari dataran tinggi Karo selalu singgah makan BPK, cuma,  kali ini kami memutuskan makan BPK di sekitar Pancur Batu saja untuk mengejar waktu agar terhindar dari kemacetan yang biasa terjadi saat hari sabtu atau hari libur. Ya, tujuan utama tentunya di BPK Ketaren, Namo Mbacang sekalian ngambil jalan potong alternatif untuk pulang ke rumah. Bukan karena itu, lokasinya yang adem dan tenang, serta rasanya yang memenuhi standart dan selera kami membuat BPK Ketaren ini menjadi persinggahan kami jika melewati jalan ini. Ya, saya rasa ini patut menjadi rekomendasi buat teman-teman yang ingin menikmati BPK jika berkunjung ke Sumatera Utara dan tentunya buah salak yang dijajakan tidak jauh dari kedai Ketaren tersebut. Hehehe�. Capek jalan-jalan, ternyata lebih capek menceritakannya ya? Ok-dekh, jalan-jalan kita minggu depan kemana ya? Hehehehe�. Salam Mejuah-juah.

Spesial untuk Kuta Lingga tercinta, saya ingin menyanyikan satu lagu karya komponis nasional yang juga merupakan salah satu komponis legendaris Karo asal Kuta Seberaya, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, yang berjudul "Bunga-bunga Nggeluh."

Bunga-bunga Nggeluh (Komponis: Djaga Depari)

Layas-layasi lah ukurndu
Ola ndele la erluhu
Kerna pengindo kempu ninina Dibata metehsa 
Turi-turi'i lah ukurndu, layasi lah pusuhdu
Nde.. Kerna 'lajang aku nindu
Tuhu-tuhu kel meriso 
Daging ngalah lalap la lolo
Lampas tayang mata la tunduh
Ee..nda bunga-bunga nggeluh 
Kempu kel nini-na anakku, em  bunga-bunganta nggeluh.

Timai aku timai nini Tigan nindu, 

Tapi kena nadingken aku
Ola kel kita sirang nini Tigan ningku, 
Beru Tarigan ndai ngelukken aku 
Oh, kempu nini-na kuja pagi kami kerina
Turang nande Tigan kusayangi, bunga-bunga 'geluh..

Timai aku timai nindu
Tapi kena ngelukken aku
Ola kel kita sirang beru Tarigan ningku
Tapi genduari kam ngelukken aku
Oh, bere Karona kuja pagi mama Biringna
Anakku kempu ninina kusayangi, enda bunga-bunga nggeluh.

Timai aku timai nindu, 
Tapi kena ngelukken aku; 
Olakel aku tading nini ningku, 
Beru Tarigan ndai ngelukken janji. 
Oh, nande Tiganna kuja pagi mama Biringna; 
Turang ku sayangi ari aron enda bunga-bunga 'geluh.

Lihat video-nya berikut ini: Koleksi:  Bastanta Permana Sembiring;   Patumbak,  01 Agustus 2008; "Bunga-bunga Nggeluh - Pinta-pinta"  Cipt: Djaga Depari;  vokal: Sopian Surbakti; penata musik: Mustika Barus(alm).
أحدث أقدم