Polemik �Karo Bukan Batak� yang gencar dibahas di media online, dimana pada klimaksnya muncul dari hasil diskusi yang diadakan di Rumah Buku di Padang Bulan, Medan dan di radio online Nederland versi bahasa Indonesia(http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/radioshow/karo-bukan-batak) oleh Juara R. Ginting, dan kemunculan halaman word-press Karo Bukan Batak(https://karobukanbatak.wordpress.com/), ditambah pernyataan dan tulisan-tulisan yang gencar disampaikan tokoh Karo di Eropa, yakni: M. U. Ginting (Swedia), serta pernyataan yang disampaikan(Karo bukan diturunkan dari Batak/Karo bukan Batak) baru-baru ini oleh seorang budayawan Karo Malem Ukur Ginting(Bp. Sulgam) di acara ragam serumpun yang membahas tentang kebudayaan Karo, setidaknya dua kali penayangan oleh Deli TV - Medan, tak pelak membuat thema ini menjadi perbincangan yang seru di dunia maya. Sontak pro dan kontra bermunculan. Hal ini juga semakin diperkuat dengan banyaknya muncul fakta-fakta sejarah terbaru dari hasil penelitian yang dipubikasikan, yang merujuk kepada sejarah kehidupan masyarakat Karo dimasa lampau, baik masa kerajaan Aroe(Haru: Karo Kuno), Masa Kolonial Belanda, dan yang terbaru adalah penemuan fosil manusia purba Karo - Gayo yang diperkirakan berusia 74000 tahun yang sempat banyak dipublikasikan di media dan secara resmi juga dipublikasikan oleh Sekretariat Kabinet Repoblik Indonesia, sehingga ini semua memicu tumbuh dan bangkitnya kesadar generasi Karo akan identitasnya setelah sekian lama diam dan pasrah saja kepada opini publik dengan apa yang dilebelkan kepadanya. Kini generasi Karo mulai berani bicara. Dan, jika saya boleh beri selogan "Generasi Muda Karo Berhak Tahu dan Berhak Berbicara."
Sesungguhnya, negara kita Indonesia tercinta ini memberikan ruang yang luas untuk berpendapat, dan bahkan memperjuangkan identitasnya yang terlepas dari identitas nasional. Pro dan kontra dari sebuah polemik juga hal yang lumrah, namun kembali sangat disayangkan karena banyak pergunjingan dan tuduhan yang dilontarkan kepada yang pro Karo bukan Batak kalau mereka(Juara, dkk) ini sebagai provokator, memecah belah, perusak ketentraman, dan penghianat. Padahal, sesungguhnya jika kita lebih memperhatikan dan mau sedikit mengerti, mereka tidaklah lebih dari hanya untuk mempertegas identitas mereka sebagai satuan etnis yang utuh dan berdiri sendiri(bukan sub-etnis), dan hendak memperjelas akan asal-usul mereka, serta meluruskan beberapa opini publik yang selama ini terbangun yang menurut mereka jauh dari fakta yang sesungguhnya. Maka pertanyaanya, salah-kah yang mereka perjuangkan itu? Tidak-kah mereka berhak berbicara? Dan, tidak-kah generesi mereka dikemudian hari juga berhak tahu? (Ingat Indian dan Aborigin, jangan sampai Karo demikian!).
Sekali lagi, pro dan kontra hal yang wajar! Bukankah demi kian? Dan, satu hal kalau berdiskusi hendaknya kedua belah pihak saling melontarkan fakta, logika, dan tradisi. Jangan hanya memaksakan tradisi yang kita anut untuk di-iyakan oleh lawan debat kita. Bukan begitu? Kita sering men-cap mereka radikal, provokator, pemecah belah, dan perusak� akan tetapi anehnya kita tidak berani menunjukkan fakta dan hanya memaksakan tradisi dan opini publik yang kita anut untuk di-aminkan oleh lawan bicara kita. Kalau demikian, bukankah kita yang provokator, perusak, dan pemecah itu? Tanpa kita sadari kita telah lebih dari apa yang kita tuduhkan kepada mereka.
Sadar! Bukankah mereka mengajukan fakta, logika, dan tradisi kalau �Karo Bukan Batak�, kemudian, mana fakta, logika yang menunjukkan Karo adalah Batak? Bukankah yang selama ini diajukan hanyalah tradisi(silsilah Si Raja Batak) dan opini publik? Ini jelas tidak berbanding(adil) jika hanya aspek tradisi yang ditekankan dan dipaksakan mejadi fakta, yang jelas-jelas jika ditinjau dari aspek ruang dan waktu sangat tidak logika dan tidak sejalan. Coba diingat-ingat kembali? Jadi, jangan paksakan Karo mengakui Si Raja Batak sebagai nenek moyangnya!
Selanjutnya, kita selalu katakan �jangan mencari perbedaan, karena jika dicari akan banyak perbedaan!� itu statemen yang bagus dan sangat benar. Tetapi, dua hal yang harus kita sadari dan diluruskan, pertama: �Sama buka berarti melebur menjadi satu!� sebab, kalau memang demikian, mengapa tidak sekalian saja kita melebur dalam satu budaya dan identitas nasional? Kenapa harus ada Jawa, Minang, Karo, Batak, Flores, Irian, dlsb? Karena, sesungguhnya kita dan para pendiri bangsa ini sadar bahwa kita sangat berbeda dan perbedaan itulah yang membuat indah dan kita satu, yakni: dalam cita-cita dan hati kita menuju Indonesia yang tentram dan damai, adil, juga sejahtra(Bhineka Tunggal Ika). Dan hal ini terbukti dalam sejarah bangsa ini, bahwa kapitalisdan komunis, gagal! Kedua: �perbedaan dan perpecahan(permusuhan)� itu dua kata yang sangat berbeda, baik huruf-huruf penyusunya, pelafalan, artian, dan makna. Ingat! Berbeda tidaklah perpecahan. Jadi, walau Karo dan Batak berbeda bukan berarti Sumatera Utara akan kiamat dan pecah, sebab jika kita berfikir demikian, maka kita tak meyakini dan menganut �Bhineka Tunggal Ika!�. Melayu, Jawa, Minang, Karo, Batak, dll berbeda, tetapi bukan perpecahan kita namakan! Namun, mengapa sekarang kita sangat alergi dengan perbedaan Karo dan Batak? Mengapa kita selalu berbicara solidaritas, persahabatan, persatuan, dan apalah itu, tapi nyata-nyata kita tak sanggup menerima perbedaan! Jadi, dimana solidaritas itu? Apakah bersahabat harus kita sama dalam segala hal? Atau, apakah kalau ingin bersahabat kita harus menjadi mereka ataupun, mereka harus jadi kita? Tidak, kan? Kucing dan tikus saja ada yang bersahabat walau ditakdirkan sebagai mangsadan pemangsa, mengapa kita sangat alergi dengan perbedaan?
Sesungguhnya masih banyak hal yang ingin saya utarakan, akan tetapi tidaklah saya rasa enak, karena akan di-cap juga provokator dikemudian hari. Jadi, sebenarnya yang hendak ingin saya sampaikan adalah, hendaknya kalau berdiskusi salinglah menghargai dan melontarkan fakta, logika, dan tradisi dengan akal dan fikiran yang sehat, agar ada titik terang dari apa yang didiskusikan, jangan lantas apa yang didoktrinkan kepada kita itulah yang kita anggap kebenaran yang mutlak. �Kitab Suci Saja Mengandung Tafsiran, Karena Jika Tidak Demikian Dia(kitab suci-red) Tentunya Selalu Tidak Relevan Dengan Zaman (by: Bastanta P. Sembiring/Pa Lagan)."
Mejuah-juah.
إرسال تعليق