Batak dan Si Raja Batak dalam beberapa tafsir dan tradisi.
Jika disuruh mendefinisikan Batak dan Si Raja Batak secara umum(apa yang diperkenalkan secar umum), maka dengan gampang orang akan berkata: �Batak," ialah salah satu suku asli yang ada di Sumatera Utara.� Suku? Dan, "Si Raja Batak" adalah nenek moyang dari semua bangsa Batak yang daripadanya lah lahirnya marga-marga Batak(tradisi Toba). Nenek moyang bangsa Batak?
Namu, kali ini saya ingin membahas tentang Batak dan Si Raja Batak itu dari presfektif, tafsir, dan tradisi yang berbeda, diantaranya, yakni: dari tradisi yang berkembang di daerah dimana bersebelahan dengan lokasi kemunculan Si Raja Batak, yakni: di sebelah utara Danau Toba(Karolanden/Taneh Karo). Namun, sebagai pengantar, tidak ada salahnya kalau saya memperkenalkan sedikit Apa dan Siapa Karo itu, agar para pembaca mendapat gambaran lebih awal.
Apa dan Siapa itu Karo?
rumah adat Karo(sumber: google search image) |
Karo, adalah suku asli yang mendiami wilayah Sumatera bagian utara, timur, dan tengah, dalam tradisi suku Karo, dipercaya dahulunya wilayah Karo pernah didiami suku yang bernenek moyangkan Karo yang seorang panglima besar dari daratan India(Mulawari) yang terdampar di daratan Sumatera dan lari dari kejaran para tentara kerajaan asalnya ke daerah pedalaman bersama Mina Sari(putri raja: kekasihnya yang kelak menjadi istrinya), dan dipercaya nenek moyang Karo ini pernah tingal di gua yang disebut: �rumah umang�, sebelum menemunkan tempat yang aman, dan tanah serta kondisi yang cocok seperti negeri asalnya. Rumah(gua) Umang ataupun batu kemang ini, oleh para peneliti(diantaranya: J. H. Neumann, dan Vain Stein Callenfels) mengatakan kalau gua umang(batu kemang) tersebut merupakan warisan megalitikum yang diperkirakan terbangun di zaman Hindu-Budha(awal tahun Masehi) di nusantara juga Aru/Haru(Karo), dan bahkan diperkirakan mungkin tahun pembuatannya jauh lebih awal dari prediksi itu. Berlanjut ke tradisi Karo, dan, dari nenek moyang Karo inilah diyakini dikemudian hari lahirnya Merga Silima(lima merga induk Karo:
pakaian adat Karo. |
Karo-karo, Tarigan, Ginting, Sembiring, dan Peranginangin), serta sub-merga Karo yang tersebar di wilayah Sumatera bagian utara dan tengah, hingga Aceh, bahkan hingga ke daratan Eropa(Munthe di Vlanderen(Belgia tahun 990M dan temuan Ijazah Acricus van Munthe yang lahir tahun 1072M), Norwegia, dan Swedia). Dalam perkembangannya, sejarah mencatat satu kerajaan besar di Sumatera pernah didirikan oleh suku Karo, yakni: Kerajaan Aru(Haru) yang diperkirakan berdiri di awal-awal memasuki tahun Masehi( Brahma Putro: Karo berdiri abad I Masehi; H. Biak Ersada Ginting: Karo berdiri tahun 685M sesuai perkiraan menurut tradisi Karo) yang awalnya berdirinya beribukota di dekat Teluk Aru(Langkat) dengan raja pertamanya Pa Lagan(juga tersirat dalam Maningmangelai karya: Brahma Putro, dan juga Babat Sunda), hingga dikemudian hari karena seringnya berperang(Tahun 860M(Ehe 175) Aru diserang Sriwijaya namun tidak berhasil, akan tetapi banyak penduduk yang pindah ke Delitua dan dataran tinggi Karo) mengakibatkan ibu kota berpindah ke pedalaman Al�(Deli) dan karena saat itu terjadi perselisihan dan ketidak sepahaman tentang penempatan ibu kota kerajaan, maka dipercaya saat itulah Aru(Haru) terpecah menjadi beberapa kerajaan-kerajaan independen, baik di daerah pesisir maupun dataran tinggi Karo. Berdasarkan pada catatan seorang pelaut Cina bernama Fahien yang melakukan perjalanan di tahun 414 M, Aru/Haru sudah ada walau tidak dijelaskan letaknya secara pasti. Dan, abad ke-9 M kembali muncul beberapa nama kerajaan seperti: Rami(Lamuri[-di] di Aceh), Balus(Barus), Jah�(Sriwijaya), Melayu, dan Harlanj(Haru/Karo).
Batak dan Siraja Batak dalam beberapa tafsir dan tradisi.
Batak
rumah adat Batak(sumber: google) |
Batak dalam persfektif dan definisi umum yang dibangun oleh para penulis dan beberapa antropolog adalah suku yang mendiami Sumatera Utara yang terdiri dari beberapa sub-suku, yakni: Karo, Toba, Simalungun, Mandailing, dan Pak-pak Dairi, dan Angkola(Angkola diragukan sebagai sebuah suku, namun dikatakan hanya merujuk kepada sebuah kelompok dalam satu wilayah, yakni: Angkola). Namun, jika berpaling pada masa-masa lampau, yang didefinisikan Batak ini, ialah semua kelompok-kelompok yang memenuhi beberapa kriteria, diantaranya:
1. Suku-suku yang belum teridentifikasi. Karena banyaknya suku-suku dan negeri-negeri independen di Sumatera Utara, maka dengan terburu-buru dan agar mempermudah dalam pengkategorian mereka, sehingga semua yang belum teridentifikasi dikatakan Batak. Dan, hal ini semakin dikuatkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, dimana pihak pemerintah, militer, antropolog, dan misionaris membuat kategori Batak dengan mengumpulkan beberapa persamaan dengan mengabaikan perbedaan yang mencolok dalam tradisi, adat, bahasa, sifat, dll sehingga beberapa antropolog juga mengatakan ini tindakan yang salah, keliru, dan terburu-buru, serta terkesan politis demi mempermudah dalam proses identifikasi, regristrasi, adminitrasi(pengaturan wilayah dan penguasa daerah), serta pelemahan beberapa kelompok yang dianggap mengancam keberadaan kolonialisme.
2. Penganut paganisme(bukan Kristen, bukan Islam)
3. Kanibalisme(di Karo diragukan, bahkan tidak ditemukan kanibalisme)
4. Pemakan babi(orang yang sudah mengnut Islam dahulu melebelkan mereka yang belum Islam(sehingga masih makan daging babi) dengan kata Batak, sehingga seorang Tionghua juga dikatakan Batak, dan bahkan para Guru Injil dan pembantu para misionaris yang sebagian besar didatangkan dari Tomohon(Minahasa) yang memakan babi juga dikatakan Batak.
5. Manusia yang biadap(verwilderde menschen), danmasyarakat(kebudayaan) dari masa kegelapan(duitsternisfe der alloudheit).
6. Bukan Melayu dan bukan Aceh.
6. Bukan Melayu dan bukan Aceh.
Tanpaknya segala hal yang melatarbelakangi kemunculan kata Batak itu mengadung pemahaman yang negatif dan tentunya kata dan sebutan Batak itu bukanlah diciptakan oleh mereka yang dianggap Batak atau yang mengaku Batak saat ini.
Dalam tradisi Karo sendiri, tidaklah pernah ada orang Karo dahulu yang menunjuk ataupun mengatakan Batak bagi dirinya(menunjuk diri) dan juga kaumnya, sehingga pastilah kata Batak itu ditujukan untuk orang yang berbeda dengannya(bukan dirinya). Namun sesuatu yang aneh, mengapa zaman sekarang ini generasi Karo mengatakan dan memandang dirinya sebagai Batak? Dan tak jarang cenderung lebih batak ketimbang Toba yang selama ini mengaku diri Batak(bataken asa teba!). Dan, bahkan dalam seluruh sastra klasik dari semua suku yang dikatakan batak tersebut, tidaklah pernah kata Batak itu terucap ataupun tertulis. Adapun definisi batak yang beredar dalam tradisi masyarakat Karo ada dua, yakni:
pakaian adat Batak(gooogle) |
1. Batak, adalah orang-orang Karo yang keluar(lari) dari kaumnya, oleh karena menghindari sistem feodalisme yang berlaku di Karo(hirarki pemerintahan tradisional Karo secara turun-temurun dari keturunan(keluarga) pendiri kuta, dari tingkatan teratas: diperintah oleh Sibayak, Bapa/raja Urung, perbapan/pengulu Kuta, dan kesain, dimana, rakyat derip(rakyat jelata) yang bukan ginenggem(ayoman para Sibiak(utama). Sibiak beda dengan Sibayak) wajib membayar pajak, membayar sewa tanah persekutuan(taneh persekutuan yang notabene-nya dimiliki dan dikuasai oleh para simanteki(pendiri) kuta(kampung, permukiman) dan keluarganya) dan er-kerah(bekerja untuk penguasa), sehingga untuk lari dari kewajiban-kewajiban itu, mereka pindah ke hutan yang belum bertuan dan membuka kuta bagi mereka yang ingin bebas dan merdeka dari pengaruh kaum "sibiak" dan kemudian juga diisi oleh orang-orang yang datang ke kuta tersebut yang menghindari utang ataupun permasalahan lainnya. Mereka hidup dengan berburu dan tak jarang dari mereka dikaitkan dengan para gerombolan dari hutan yang melakukan aksinya berupa penculikan terhadap warga(khususnya gadis) seperti yang tersirat dalam tradisi Ginting Manik dan Tarigan(kisah Manuk Sigurda-gurdi), serta tak jarang dikaitkan dengan para perompak di jalur perjalanan para perlanja sira(pembawa/pemikul garam) dan puluh dagang(kaum dagang) yang lalu lalang di jalur penghubung dataran tinggi Karo dan pesisir pantai timur dan barat Sumatera.
2. Definisi Batak lainnya, ini berkaitan dengan ketenagakerjaan dan perdagangan budak. Sejarah mencatat, para Sibayak(si besar, si kaya, Raja, gelar bangsawan Karo) adalah penguasa dan yang berhak dalam penentuan dan pengelolaan semua aset negeri(kesibayaken, kenjurun(urung), kuta, maupun kesain)terkhususnya tanah persekutuan. Sehingga, sibayak pemilik dari semua itu, dan tidak jarang sejarah mencatat para sibayak ini pemasok rempah-rempah(khususnya lada, nipah, gambir, dan kapas) bagi para pedagang asing yang diperolehnya(para Sibiak: Sibayak, urung, pengulu-red) dari perkebunan pribadinya, maupun tanah persekutuan. Maka oleh karena itu, dibutuhkanlah banyak tenaga kerja untuk mengerjakan tanah-tanah tersebut, yang dalam cakap(bahasa) Karo disebut mbatak-bataki(meratakan tanah, mengerjakan tanah), dan para pekerja ini dikemudian hari dikenal kalakmbatak(orang yang mbatak-bataki/pekerja tanah), sehingga di wilayah-wilayah Karo dahulu, jika ada seorang tuan kebun mencari pekerja(budak) maka dia akan bertanya: � Lit mbatak-ndu?(ada batak mu?) �, dan dikemudian hari berkembang menjadi: � Lit tebandu?(ada Toba mu?)� ataupun: " Lit Jawi, ndu?(ada Jawa-mu?) ", hal ini karena dikemudian hari para pekerja itu didatangkan ataupun datang sendiri dari sekitar daerah Danau Toba dan sebagian lagi dari Pulau Jawa. Dan, ucapan ini terdengar setidaknya hingga tahun 80-an, bahkan, saat kecil di Patumbak(90-an), Nini Tudung(nenek) saya juga berkata demikian kepada sesamanya(pemilik lahan) untuk mencari si ngemo(pekerja) di perkebunan cengkeh ataupun kemiri-nya, katanya: � Lit tebandu? � atau � Lit Jawi�ndu? �.
Dalam buku: � Etnisitas dan Kolonialisme; Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut �, Daniel Perret mencatat, kalau: Sibayak Barus Jah�, Sibayak Barus Julu, dan Sibayak Lingga, orang yang paling berpera dalam mendatangkan budak-budak untuk dijual dan dipekerjakan di perkebunan-perkebunan, yang dimana sebagian besar dari mereka didatangkan dari daerah sekitar Danau Toba.
Dalam buku: � Etnisitas dan Kolonialisme; Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut �, Daniel Perret mencatat, kalau: Sibayak Barus Jah�, Sibayak Barus Julu, dan Sibayak Lingga, orang yang paling berpera dalam mendatangkan budak-budak untuk dijual dan dipekerjakan di perkebunan-perkebunan, yang dimana sebagian besar dari mereka didatangkan dari daerah sekitar Danau Toba.
Si Raja Batak
Si Raja Batak dalam tradisi yang berkembang di sekitar Samosir(tradisi Toba-Batak), adalah nenek moyang dari semua bangsa Batak. Bangsa Batak? Dan, masih dalam tradisi Toba, dikatakan dikemudian hari dari Si Raja Batak ini-lah lahirnya marga-marga Batak(lih. Trombo Si Raja Batak). Para peneliti dan pengamat tentang Batak memprediksikan kalau Si Raja Batak ini hidup sekitar awal abad ke-13 Masehi, dan jika berpatok pada �trombo Si Raja Batak�, setidaknya marga Batak baru muncul pada generasi ke-3(setelah) dihitung setelah kemunculan Si Raja Batak, jadi dapat kita asumsikan sekitar pertengahan abad ke-14M, atau awal abad ke-15M. Lihat grafik berikut!
Maka, jika tradisi Si Raja Batak dan kemunculannya di abad ke-13 M dianut dan menjadi satu rujukan yang dipaksakan oleh masyarakat Toba-Batak, maka ini sama saja mengkerdilkan budaya Batak tersebut, karena, jika kita berpatok pada tradisi dari masyarakat Karo, Simalungun, dan Mandailing dengan eksistensi kerajaan yang identik dengan mereka yang jauh telah tumbuh dan berkembang sebelum tradisi Si Raja Batak ini muncul di abad ke-13 M, maka sekali lagi saya katakan ini sama dengan mengkerdilkan suku-suku yang dikategorikan Batak itu.
Jika kita berpatok pada teori yang mengatakan kalau kemunculan Si Raja Batak pada awal abad ke-13 M, maka pastilah beliau hidup di masa kerajaan Aru/Haru(identik dengan Karo), Padang Lawas atau Pane(identik dengan Mandeling), ataupun Nagur(identik dengan Simalungun), Sriwijaya(Palembang), dan Pagaruyung(Minang, Sumbar) dan aktifis atau rakyat dari kerajaan tersebut diatas. Ada beberapa yang berpendapat kalau Si Raja Batak adalah aktifis dari kerajaan tersebut diatas dan bahkan penentang(mungkinkah penentang seperti yang dikatakan pada poin: 1 Batak dalam tradisi Karo? Jika demikian, apakah Si Raja Batak rakyat Karo(Aru/Haru) atau Simalungun, ataupun Mandailing?) yang karena tertekan oleh kaum feodal yang kemudian memaksanya mengungsi ke pedalaman Samosir di Pusuk Buhit. Atau, ada juga yang berpendapat kalau Si Raja Batak adalah gubernur Pagaruyung di Portibi yang karena terdesak oleh aksi Majapahit yang kala itu hendak menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatera bagian utara dan tengah harus mengungsi ke pedalaman Samosir.(lihat Sumpah Palapa: Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada saat upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit , tahun 1258 Saka (1336 M). Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton yang berbunyi, sebagai berikut:
Jika kita berpatok pada teori yang mengatakan kalau kemunculan Si Raja Batak pada awal abad ke-13 M, maka pastilah beliau hidup di masa kerajaan Aru/Haru(identik dengan Karo), Padang Lawas atau Pane(identik dengan Mandeling), ataupun Nagur(identik dengan Simalungun), Sriwijaya(Palembang), dan Pagaruyung(Minang, Sumbar) dan aktifis atau rakyat dari kerajaan tersebut diatas. Ada beberapa yang berpendapat kalau Si Raja Batak adalah aktifis dari kerajaan tersebut diatas dan bahkan penentang(mungkinkah penentang seperti yang dikatakan pada poin: 1 Batak dalam tradisi Karo? Jika demikian, apakah Si Raja Batak rakyat Karo(Aru/Haru) atau Simalungun, ataupun Mandailing?) yang karena tertekan oleh kaum feodal yang kemudian memaksanya mengungsi ke pedalaman Samosir di Pusuk Buhit. Atau, ada juga yang berpendapat kalau Si Raja Batak adalah gubernur Pagaruyung di Portibi yang karena terdesak oleh aksi Majapahit yang kala itu hendak menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatera bagian utara dan tengah harus mengungsi ke pedalaman Samosir.(lihat Sumpah Palapa: Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada saat upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit , tahun 1258 Saka (1336 M). Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton yang berbunyi, sebagai berikut:
�Sira Gajah Mada patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira
Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun
kalah ring Gurun, ring Seran, Ta�jung Pura, ring Haru, ring Pahang,
Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti
palapa". )
dan, gelar raja(Si Raja Batak) sendiri diberikan bukan karena kekuasaannya, melainkan karena teladan yang ditunjukkan semasa hidupnya(penghargaan). Karena, sejarah mencatat kalau negeri Batak dan bangsa Batak tidaklah pernah ada. Dan, dalam tradisi Toba sendiri raja-raja bukan sebagai pemangku pemerintahan, akan tetapi lebih bergelut dalam lingkup keagamaan dan peradatan.
Ada juga yang mengatakan kalau Si Raja Batak itu hanya-lah mitos yang diangkat untuk tampak seakan nyata, untuk mempersatukan orang Toba-Batak dan agar orang Toba saling menghormati daintara mereka karena pada dasarnya mereka adalah satu leluhur. Namun, ada juga teori yang beredar yang mengkaitkan Si Raja Batak dan silsilah marga Batak ini dengan keinginan hendak membentuk negara Sumatera Timur(abad ke-19M). Jadi, segala cara dilakukan, termaksud melegitimasi kalau Batak itu adalah satuan etnisitas dan menotasikan Batak itu dalam lima sub-suku(Karo, Toba, Mandailing, Simalungun, dan Pak-pak) supaya menjadi perhatian dan perhitungan dunia terhadap pembentukan negara Sumatera Timur ini, yang digadang-gadang akan berpusat di Samosir dimana cerita Si Raja Batak ini muncul.
Sedangkan, dalam tradisi Karo sendiri, kisah Si Raja Batak hampir tidak pernah terdengar dan dikait-kaitkan dengan kehidupan masyarakat Karo, walau Toba dalam kehidupan masyarakat Karo selalu berinteraksi. Hal ini mungkin karena dalam kehidupan masa lampau Karo, Si Raja Batak tidak dikenal dan seperti apa yang telah dibahas diatas tentang Batak dalam tradisi Karo, maka pastilah orang Karo tidak mengenal ataupun tidak mengakui adanya Si Raja Batak karena orang Karo mengenal orang Batak bukanlah sebagai satuan etnis, suku, atau negeri, melainkan karena posisi kedatangannya ke wilayah Karo atau kepergianya dari kaum di Karo. Jadi, masyarakat Karo dahulu tidak pernah tahu, dan tidak mempercayai adanya Si Raja Batak selain Sibayak dan tuan-tuan tanah yang membawa serta memperkerjakan mereka di perkebunan.
Jadi, apapun itu Batak dan Si Raja Batak tidaklah penting, karena identitas berkembang seiring zaman, dan tulisan ini hanyalah kutipan dari sebagian catatan sejarah, tradisi, serta opini tentang Batak dan Si Rakja Batak.
Salam mejuah-juah, horas, yahobu.!
Suber pic: google search image(key: batak). Thanks buat google dan yang uplod(share) pic diatas.
إرسال تعليق