"Tiga Pancur Batu" : Tiga-tiga tak lagi seramai dulu. |
Tiga adalah sebutan untuk pasar ataupun pusat perbelanjaan dalam cakap(bahasa) Karo atau sering juga disebut pajak. Pertiga-tiga, perpajak, ataupun perengge-rengge adalah sebutan bagi pedagang dipasar-pasar(pelaku pasar).
Setelah berkembangnya sistem pasar dan pusat perbelanjaan di Indonesia, maka sebutan tiga ataupun pajak kini hanya merujuk kepada pasar-pasar tradisional. Namun, walau demikian aktifitas jual-beli di tiga-tiga ini hingga sekarang masih cukup ramai walau tidak lagi se-ramai dahulu. Hal ini dikarenakan, tiga-tiga sekarang ini hanya dikunjungi untuk membeli beberapa komuditi yang tidak diperjualkan di pasar-pasar modern, seperti: rempah-rempah, obat-obat tradisional, ataupun komuditi yang dibeli dalam partai besar agar mendapat nilai barang yang masih segara dan harga yang murah.
Saya pribadi menganggap tiga-tiga ini sebagai sebuat objek wisata berbelanja tradisional, mengapa saya katakan demikian? Ya, seperti yang saya utarakan sebelumnya, banyak komuditi yang tidak diperjualkan di pasar modern, seperti rempah dan obat tradisional. Bukan itu saja, di tiga-tiga ini juga banyak aneka panganan tradisional yang tidak kita temukan di pasar modern dan walaupun ada tentunya penyajian, suasana, dan rasanya sangat berbeda. Saya misalkan masakan khas Karo, banyak rumah makan yang menyediakan masakan khas Karo di kota-kota di Sumatera Utara, bahkan hingga ke Jawa, namun dari segi rasa sudah sangat jauh berbeda dengan yang ada di tiga-tiga. Misalkan BPK, kalau di rumah makan modern dagingnya sudah dipanggang dengan oven bukan dengan bara api lagi, begitu juga nasinya yang dimasak dengan memanfaatkan panas litrik dan gas sehingga tentunya rasa dan aromanya sangat beda dengan daging panggang dan nasi yang dimasak dengan kayu bakar, dan yang paling mencolok pada soup-nya dimana sudah dicampur dengan penyedap rasa buatan(zat kimia), dlsb. Berbeda dengan soup di RM di tiga-tiga yang hanya memakai bumbu alami dan dengan acem cikala(asam khas Karo) yang membuat rasanya sangat khas dan nyaman di lambung. Cimpa(kue khas Karo sejenis lapet) yang jika dibeli dari pasar-pasar tradisional masih dibuat dengan sangat tradisional, dimana tepungnya masih ditutu(ditumbuk) di lesung kayu bersamaan dengan lada, garam, dan gula; dan gulanya juga masih memakai gula merah dari tuak pola(aren), bukan seperti gula merah yang kita temui di swalayan yang dimana gula pasir di aduk dengan entah apa itu seperti lendir. Jadi, rasanya sangat, sangat berbeda sekali.
Saya ingat saat berkesempatan tinggal di Suban, Jambi, saya tidak mau makan jika berasnya bukan beras yang dibeli dari petani setempat, serta yang dimasak jika tidak dengan kayu akasia, tempinis, ataupun cameline, karena aroma dan rasanya sangat jauh berbeda sekali, dan itu semuanya hanya dapat kita peroleh di tiga-tiga. Berikut tiga-tiga yang sering saya kunjungi dan hari puncak kermaianya.
- Tiga Pancur Batu pucak keramaiaanya pada hari Sabtu.
- Tiga Delitua(Kamis)
- Tiga Namorambe(Senin)
- Tiga Sibolangit(Jumat)
- Tiga Talun Kenas(Sabtu)
- Tiga Simpang Rambutan/Suban, Jambi(Minggu)
- Tiga Selensen/Kemuning, INHIL, Riau(Jumat)
- Tiga Minas, Minas Jaya, Siak, Riau(Selasa).
- ,dll.
Mau barang dengan kwalitas bagus dengan harga murah dan khas(rasa dan aroma)? Silahkan mencoba berbelanja di tiga-tiga(pasar tradisional). Selamat mencoba dan salam Mejuah-juah.
Post a Comment