Kiras Bangun(Garamata) 1852 - 1942 |
Kiras Bangun atau Garamata(si mata merah) adalah pejuang kemerdekaan melawan penjajahan Belanda asal Karo. Lahir di Batu Karang 1852, dari ayah yang beristri tiga Kiras Bangun ersembuyakken(bersaudarakan) 5 orang, 4 orang saudara dan 1 orang saudari. Dari keluarga berdarah bangsawan(masih dalam keluarga raja urung silima kuta) ber-merga Peranginangin dari cabang(sub-)merga Bangun, yang kental dengan tradisi Karo, dimana ayahnya yang juga merupakan tokoh masyarakat dan adat menempa beliau menjadi sosok yang humanis, disiplin, bijaksana, dan berpendirian teguh. Hal ini tampak dari penolakannya yang keras terhadap tawaran-tawaran Belanda yang ingin membuka perkebunan di wilayah Karo yang dalam pemikiran seorang Kiras Bangun ini kelak akan menyengsarakan dan membuat kaum pribumi akan tersingkir dari tanah nenek moyangnya.
Seperti lazimnya muda/i Karo yang menjalani pendidikan tradisional(mayanatau [-n]dikar = bela diri, katika= ramal, tambar-tambar = ilmu pengobatan, aji-aji = racun, mbayu(tenun dan mengayam khusus untuk kaum wanita), ergendang = musik, agama, adat, tulisen Karo, dan kebijaksanaan lainnya) selain itu, beliau juga berkesempatan untuk mengenyam pendidikan formal yang dijalaninya di Kota Binjai, sehingga pastilah beliau menguasai bahasa Melayu juga tulisen(aksara) Karo,yang ini kemudian nantinya menjadi modal beliau untuk dapat melakukan pendekatan dan meyakinkan untuk mempersatukan pejuang dari lintas wilayah, suku, agama, dan golongan baik di sekitar Sumatera Utara hingga ke Aceh. Walau terlahir dari keluarga pengulu Silima Kuta yang tentunya memiliki hak-hak istimewa diantara masyarakat lainnya, tidak lantas membuat beliau sombong dan sewenang-wenang dalam perangainya seperti lazimnya para kaum aristokrat, sehingga beliau sangat disukai oleh karena kepeduliannya dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat yang hendak dirampas baik oleh penguasa-penguasa lokal terkhususnya dari penjajahan kolonial Belanda.
Di Karo, adalah sebuah kebiasaan khususnya kaum bapa(bapak) melakukan perjalanan ke kuta-kuta(kampung), hal demikian juga dilakukan oleh Kiras Bangun, namun perjalanan yang lazim beliau lakukan bukan hanya berkaitan dengan menjalin silaturahmi antar keluarga ataupun Merga Silima, melainkan juga berkaitan dengan peran beliau sebagai tokoh adat dan masyarakat yang dimana kala itu sering terjadi peperangan baik antar kesain, kuta, urung, maupun kesebayakan di wilayah-wilayah Karo, sehingga kehadiran beliau adalah sebagai seorang juru damai, dan disamping itu dengan memanasnya situasi di wilayah Karo yang diakibatkan oleh rencana pemerintah kolonial Belanda untuk membukan perkebunannya di dataran tinggi Karo, membuat Kiras Bangun geram dan memanfaatkan saat-saat itu untuk juga menggalang kekuatan untuk melakukan perlawanan.
Kepopuleran Kiras Bangun yang terdengar oleh Belanda baik di dataran tinggi hingga ke pasisir, dan ditambah lagi dengan adanya rencana kolonial Belanda untuk membuka perkebunan tambakau di dataran tinggi Karo, dima sebelumnya di tahun 1870 Belanda telah menguasai Sumatera Timur dan telah membuaka perkebunan karet di sekitar Binjai dan Langkat, maka dengan taktik pendekatan melalui utusan yang semerga bernama Nimbang Bangun yang juga masih memiliki pertalian saudara, Belanda menawarkan persahabatan dengan imbalan memakai pengaruh Kiras Bangun di dataran tinggi untuk memperoleh lahan-lahan untuk dijadikan perkebunan tembakau. Namun, sadar hal ini akan menyengsarakan rakyat Karo, maka dengan tegas Kiras Bangun menolak walau selalu ditawari imbalan-imbalan yang menarik dari kolonial Belanda.
Tidak lantas menyerah, pihak Belanda berulang kali mengutus Nimbang Bangun dan utusan-utusan lainnya untuk membujuk Kiras Bangun agar mau bersahabat dengan pihak kolonial, namun bukan tergoda, hal ini malah membuat Kiras Bangun semakin keras menolak, apalagi ditahun 1901 kolonial Belanda membuka markasnya di Kabanjahe, hal ini membuat Kiras Bangun menjadi berang dan menumbuhkan kebenciannya terhadap kolonial Belanda. Sehingga, bersama pasukannya beliau mengusir paksa Belanda dari dataran tinggi Karo.
Setahun kemudian(1902) Belanda dengan utusanya Guillaume beserta sedadu yang dipersenjatai lengkap yang dimana sebelumnya telah mendapat ijin dari beberapa penguasa urung di dataran tinggi bergerak menuju dataran tinggi Karo. Kiras Bangun menilai hal ini merupakan sebuah penghinaan serta upaya kolonial untuk menguasai Taneh Karo, sembari menggalang kekuatan dan menyusun strategi perang, maka dengan keras beliau meng-ultimatum Belanda agar segera meninggalkan Taneh Karo jika tidak ingin terjadi perlawanan sengit dari rakyat Karo. Peringatan yang disampaikan tidak juga diindahkan oleh pihak Belanda, maka dengan itu pertempuran tidak dapat lagi dielakkan. Sadar akan kemampuan persenjataan dan jumlah musuh lebih kuat(dimana kaum pribumi bayak direkrut menjadi serdadu Belanda), maka Kiras Bangun menggalang kekuatan, salah satunya dengan melakukan pendekatan terhadap urung-urung Karo yang dikenal dengan �pertemuan tiga jeraya� . Dan satu hal yang menakjubkan dalam �pertemuan tiga jeraya� ini, dimana mampu mengumpulkan lebih dari 3000 orang dan tercatat terjadi tiga kali pertemuan. Hal inilah yang semakin membuat pihak kolonial menjadi kewalahan, dimana ini merupakan penggalangan kekuatan tradisional terbesar di Sumatera dan mungkin di nusantara sepanjang sejarah.
Patroli-patroli serdadu Belanda semakin gencar dilakukan untuk membasmi perlawanan masyarakat, sehingga menimbulkan pertempuran dimana-mana. Suara tembakan terdengar dimana-mana, korban berjatuhan, hal ini mengiris hati dan menguji mental seorang pemimpin sekelas Kiras Bangun. Walau hati pilu namun sadar akan lebih sakit jika dijajah, dengan motto perjuangan: �Namo bisa jadi aras; Aras bisa jadi namo. Hari ini bisa saja kita kalah, tapi besok kita pasti menang!� yang juga penyemangat bagi pasukanya, maka, sampai darah penghabisan perjuangan tetap diterusna, hal ini tergambar dalam supah yang beliau beserta pasukan simbisa/urung-nya ikrarkan:
Tanger ko nakan si nipan kami enda,(masaklah engkau nasi yang kami makan)
Tangar ko bengkau si nipan kami enda, (masaklah engkau lauk-pauk yang hendak kami makan)
Tanger ko lau si inem kami enda,(masaklah enkau air yang hendak kami minum)
Kami ersumpah bekas arih � arih kami ersada ngelawan Belanda adi ia reh ku Tanah Karo njajah kami (kami bersumpah dengan bahu menbahu melawan Belanda jika datang ke Tanah Karo hendak menjajah kami)
Ras ipelawes sienggo ringan i kabanjahe (dan kami akan mengusir yang telah berada di Kabanjahe)
Si bagi Mara � mata Belanda.(Dan seperti orang(pihak-pihak) yang merah/membara matanya seperti Belanda(maksudnya ketamakan, hendak menguasai/menjajah))
Ndigan pagi kami engkar ibas perbelawanen kami enda(Jikalau suatu waktu kami mengingkari sumpah kami)
Mate kami ibunuh nakan, ibunuh bengkau, ibunuh lau sini inem kami enda(matilah kami karena makanan dan minuman yang kami telan)
Janah keturunen kami (Juga keturunan kami)
La nai banci selamat merjat Tanah Karo enda.(Tidak akan selamat jika menginjak Taneh Karo ini).
Dengan kekuatan pasukan yang digalang dari wilayah Sumatera Utara dan Aceh, Kiras Bangun terus bergerak melakukan perlawanan, namun satu per satu benteng pertahanan pasukan simbisa dapat dikuasai musuh salah satunya benteng pertahanan di Lingga Julu(Lingga Hulu) yang dimana salah seorang pinpinan pasukan simbisa pun ikut menjadi korban. Kalahnya pertahanan di Lingga Julu, maka pasukan simbisa harus bergerak mundur. 15 September 1904 terjadi pertempuran sengit di Kandibata, Mbesuka, dan Tembisuh, Batu Karang, dan hampir diseluruh dataran tinggi Karo, Dairi, Aceh Tenggara, dan Aceh Selatan. Namun, dibawah komando Kiras Bangun dan juga dibantu oleh kaum pernand�n(nand� = ibu) yang dalam setiap pertempuran ikut membantu logistik dan bersorak(er-alep alep) memberi semangat, pasukan urung/simbisa tak henti-hentinya melakukan perlawanan. Dalam pertempuran ini, tercatat setidaknya 30 orang pasukan urung meninggal dunia dan puluhan orang terluka. Pertempuran yang sengit membuat pasukan simbisa/urung berpencar, namun keesokan harinya ditetapkan Kuala menjadi daerah tempat berkumpul seperti yang telah dipesankan kepada seluruh pasukan. Menghindari kejaran Belanda, pasukan simbisa/urung berpindah menuju Liren, Kuta Gamber, Kempawa, Pamah dan Lau Petundal dan membangun basis pertahanan. Daerah ini termasuk dalam wilayah Dairi yang berbatasan dengan Aceh Selatan, Aceh Tenggara dan Tanah Karo yang dimana medanya bergunung-gunung, lembah yang dalam dan terjal, gersang, berpenduduk jarang sehingga Kiras Bangun merasa daerah ini cocok menjadi basis gerillya untuk mengganggu pemerintahan dan basis pertahanan Belanda. Akan tetapi, karena medan yang susah mereka lemah dalam hal dukungan logistik. Dari tempatnya berdiam sementara ini, Kiras Bangun tidak berdiam saja, akan tetapi dia rutin melakukan aksi-aksinya bersama pasukannya, melakukan kunjungan-kunjungan baik ke basis-basis pertahanan maupun untuk meyakinkan penguasa-penguasa di Sumatera Utara dan Aceh untuk jangan henti melawan, sehingga dimana-mana terjadi pertempuran yang dilakukan rakyat setempat untuk mengusir penjajah belanda.
Karena tertekan, Belanda semakin memperkuatkan pasukannya di dataran tinggi dan melakukan penyisiran untuk mencari keberadaan Kiras Bangun, namun tidak berhasil. Segala usaha dilakukan Belanda untuk menangkap Kiras Bangun, dengan cara melakukan tekanan terhadap masyarakat sipil. Dimana-mana terjadi pertempuran dan korban berjatuhan baik dari pejuang maupun dari rakyat sipil, yang membuat hati nurani Kiras Bangun pilu. sehingga dengan berat hati dan tidak mau jatuh korban yang lebih banyak Kiras Bangun pun menyerahkan diri, namun dengan penuh harapan dan cita-cita pada suatu saat dapat bangkit kembali mengusir Belanda.
Garamata dihukum dalam bentuk pengasingan di perladangan Riung selama 4 tahunhingga akhirnya dibuang ke Cipinang bersama kedua putranya antara tahun 1919-1926, hal ini dilakukan Belanda agar Kiras Bangun tidak dapat lagi berhubungan dengan pejuang dan masyarakat Karo, sehingga perjuangan dapat diredam dengan mudah. Kiras Bangun atau Garamata gugur pada tanggal 22 Oktober 1942, namun keteladanannya dalam memimpin, serta kemampuannya untuk menyatukan pejuang-pejuang dan penguasa di Sumatera Utara dan Aceh membuat semangat perjuangannya tidak pernah padam.
Atas keteladanan dan jasa-jasanya, maka pada 9 November 2005 yang juga bertepatan dengan �Hari Pahlawan(10 November)�, Kiras Bangun(Garamata) dianugrahi gelar �Pahlawan Nasional Indonesia� oleh Presiden Repoblik Indonesia : Susilo Bambang Yudhoyono. Kiras Bangun sang pejuang dan teladan layak memperoleh pengakuan negri ini sebagai seorang pahlawan nasional, bahkan pemerintah Sumatera Utara terkhususnya daerah-daerah yang menjadi basis perjuangannya yang saat ini telah tumbuh menjadi daerah tingkat II(Kabupaten/Kota) layaklah menganugrahkan gelar kehormatan dan penghargaan atas jasanya, baik berupa penambalan namanya sebagai nama jalan ataupun tugu(monumen) untuk mengenang perjuangan dan jasa-jasanya. JASMERAH(Jangan sekali-kali lupakan sejarah).
Post a Comment